HUKUM PERDATA DAN HUKUM PERIKATAN
ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI
TUGAS SOFTSKILL
Di Susun Oleh :
Rinaldi Septiantoro
(26215012)
UNIVERSITAS GUNADARMA
2018
HUKUM PERDATA
1. HUKUM
PERDATA YANG BERLAKU DI INDONESIA
Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia yaitu
yang berdasarkan pasal 163 IS yang dibagi menjadi tiga golongan : Golongan
Eropa, Golongan Pribumi dan Golongan Timur Asing.
2. SEJARAH
SINGKAT HUKUM PERDATA
Sejarah membuktikan bahwa hukum perdata yang
saat ini berlaku di Indonesia, tidak lepas dari sejarah hukum perdata Eropa.
Bermula dari benua Eropa, terutama di Eropa Kontinental berlaku hukum
perdata Romawi, disamping adanya hukum tertulis dan hukum kebiasaan setempat.
Diterimanya hukum perdata Romawi pada waktu itu sebagai hukum asli dari
negara-negara di Eropa, olah karena keadaan hukum di Eropa kacau balau, dimana
tiap-tiap daerah selain mempunyai peraturan-peraturan sendiri, juga peraturan
setiap daerah itu berbeda-beda.
Oleh karena adanya perbedaan ini jelas bahwa
tidak ada suatu kepastian hukum. Akibat ketidakpuasaan, sehingga orang mencari
jalan kearah adanya kepastian hukum, kesatuan hukum, dan keseragaman hukum.
Pada tahun 1804 atas prakarsa Napoleon
Bonaparte terhimpun hukum perdata dalam satu kumpulan peraturan yang bernama
“Cde Civil de Francais” yang disebut “Code Napoleon”. Karena Code Civil des
Francais merupakan bagian sebagian dari Code Napoleon. Sebagai perunjuk
penyusunan Code Civil ini dipergunakan karangan dari beberapa ahli hukum antara
lain Dumoilin, Domat dan Pothies, disamping itu juga dipergunakan Hukum Bumi
Putra Lama, Hukum Jemonia, dan Hukum Cononick. Dan mengenai peraturan-peraturan
hukum yang belum ada di jaman Romawi antara lain masalah wesel, asuransi,
badan-badan hukum. Akhirnya pada jaman Aufklarung (jaman baru sekitar abad
pertengahan) akhirnya dimuat pada kitab undang-undang tersendiri dengan nama
“Code d Commerce”.
Sejalan dengan adanya penjajahan oleh bangsa
Belanda (1809-1811), maka Raja Lodewijik Napoleon menetapkan : “Wetboek
Napoleon Ingeright Voor het Koninkrijik Holland” yang isinya mirip dengan “Code
Civil des Francais atau Code Napoleon” untuk dijadikan sumber hukum perdata di
Belanda.
Setelah berakhirnya penjajahan dan dinyatakan
Nederland disatukan dengan Perancis pada tahun 1811, Code Civil de Francais
tetap berlaku di Belanda. Oleh karena perkembangan jaman dan setelah beberapa
tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis ini, bangsa Belanda mulai memikirkan
dan mengerjakan kodefikasi dari hukum perdatanya. Dan tepatnya 5 juli 1830
kodefikasi ini selesai dengan terbentuknya Burgelijik Wetboek (BW) dan Wetboek
van Koophandel (WvK), ini adalah produk nasional Nederland, namun isi data dan
bentuknya sebagian besar sama dengan Code Civil des Francais dan Code de
Commerce.
Pada tahun 1948, kedua undang-undang produk
nasional-Nederland diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas politik hukum.
Sampai sekarang kita kenal dengan nama KUH sipil untuk BW , sedangan KUH dangan
untuk WvK.
3.
PENGERTIAN DAN KEADAAN HUKUM PERDATA
A.
PENGERTIAN HUKUM PERDATA
Hukum perdata adalah aturan-aturan hukum yang
mengatur tingkah laku setiap orang terhadap orang lain yang berkaitan dengan
hak dan kewajiban yang timbul dalam pergaulan masyarakat maupun pergaulan
keluarga.
Hukum perdata dibagi menjadi dua, yaitu Hukum
Perdata Materiil dan Hukum Perdata Formil.
1. Hukum
Perdata Materiil mengatur bagaimana cara seseorang mempertahankan haknya
apabila dilanggar oleh orang lain.
2. Hukum
Perdata Formil mempertahankan hukum perdata materiil, karena hukum perdata
formil berfungsi menerapkan hukum perdata materiil apabila ada yang
melanggarnya.
B. KEADAAN
HUKUM PERDATA
1. Aneka
Pembagian Penduduk Indonesia
Peduduk Indonesia dibagi menjadi tiga golongan
dan masing-masing golongan mempunyai hukum perdata sendiri.
a.
Golongan Eropa
Menurut pasal 163 ayat 2 yang termasuk
golongan Eropa adalah :
–
Semua warga negara Belanda
–
Bukan warga negara Belanda, melainkan orang yang berasal dari Eropa
–
Semua warga negara Jepang
–
Orang-orang yang berasal dari negara lain yang hukum keluarganya sama dengan
hukum keluarga Belanda
–
Keturunan mereka yang tersebut diatas
b.
Golongan Pribumi
Menurut pasal 163 ayat 3 yang termasuk dalam
golongan Pribumi adalah :
–
Orang-orang Indonesia asli yang tidak pernah pindah dari golongan lain
–
Mereka yang semula termasuk golongan lain, lalu membaurkan dirinya kedalam
golongan Indonesia asli
c.
Golongan Timur Asing
Menurut pasal 163 ayat 4 yang termasuk dalam
golongan Timur Asing adalah :
–
Golongan Timur Asing Tionghoa
–
Golongan Timur Asing bukan Tionghoa
Pembagian penduduk kedalam tiga golongan ini,
sebenernya sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang. Bahkan dengan
dikeluarkannya Instruksi Presidium Kabinet No. 31/U/12/1966, telah
diintruksikan kepada Menteri Kehakiman serta Kantor Catatan Sipil seluruh
Indonesia untuk tidak menggunakan penggolongan penduduk Indonesia berdasarkan
pasal 131 dan 163 Indische Staatsregeling pada Kantor Catatan Sipil di Seluruh
Indonesia.
2.
Keanekaragaman Hukum Perdata di Indonesia
Sampai sekarang ini, Hukum Perdata di
Indonesia masih beranekaragam. Pada masa dahulu, masing-masing golongan
penduduk di Indonesia, mempunyai Hukum Perdata sendiri-sendiri.
Ketidakseragaman dalam Hukum Perdata ini disebabkan karena banyaknya macam
golongan penduduk di Indonesia yang masing-masing golongan mempunyai kebutuhan
Hukum Perdata yang berbeda-beda pula.
3.
Penundukan Diri Secara Sukarela Kepada Hukum Perdata Barat
Menurut pasal 131 ayat 4 , bagi orang
Indonesia asli dan orang Timur Asing, sepanjang mereka belum diletakkan dibawah
suatu peraturan Bersama dengan bangsa eropa Eropa, diperbolehkan menundukkan
diri pada hukum yang berlaku untuk Eropa. Berdasarkan ketentuan ini, maka
dibentuklah suatu lembaga penundukan diri yang diatur dalam Staatsblad 1917 No.12 tentang
Penundukan Sukarela Kepada Hukum Perdata Eropa, setiap orang yang bukan
golongan Eropa dapat menundukan diri secara sukarela kapada Hukum Perdata Barat
(Eropa) di Indonesia.
Melalui peraturan ini, maka ada empat jenis
penundukan dengan sukarela kepada Hukum Perdata Barat di Indonesia, yaitu :
a.
Penundukan dengan sukarela pada seluruh Hukum Perdata Barat (Pasal 1-17 Stb.
1917/12)
b.
Penundukan dengan sukarela pada sebgaian Hukum Perdata Barat. Yang dimaksudkan
disini hanyalah penundukan pada Hukum Harta Kekayaan dan Hukum Waris
Testamenter saja, seperti yang telah dinyatakan berlaku bagi golongan Timur
Asing bukan Tionghoa dalam Staatsblad 1924 No.556 (Pasal 18-25 Stb.
1917/12)
c.
Penundukan dengan sukarela pada Hukum Perdata barat mengenai suatu perbuatan
hukum yang tertentu (Pasal 26-28 Stb. 1917/12)
d.
Dianggap tunduk pada Hukum Perdata Barat karena menjalankan suatu tindakan
hukum yang tertentu (Penundukan secara “diam-diam”). Menurut pasal 29 Stb.1917/12,
jika seorang bangsa Indonesia asli melakukan sutu perbuatan Hukum yang tidak
dikenal didalam hukumnya sendiri, makai a dianggap secara diam-diam menundukan
dirinya pada Hukum Eropa.
4. Kondisi
Hukum Perdata di Eropa
seperti kita ketahui, bahwa Hukum Perdata yang
berlaku di Indonesia sekarang ini berasal dari Hukum Perdata Belanda yang
disebut Burgerlij Wetboek(BW). Adapun Hukum Perdata Belanda ini berasal dari
Hukum Perdata Perancis. Hukum Perdata Perancis ini di Kondifikasi pada 21 Maret
1804 dengan nama Code Civil des Francais. Tahun 1807, di kondifikasi ini di
undangkan lagi dengan nama Code Napoleon.
5.
Berlakunya KUH Per di Indonesia
Setelah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 di
keluarkan KUH Per pun masih dinyatakan berlaku berdasarkan Pasal 2 aturan
peralihan. Kitab undang-undang Hukum Perdata (KUH Per) yang dikodifikasi ini
masih berlaku sampai saat ini. Hal ini dimaksudkan adalah untuk mengisi
kekosongan Hukum dan untuk menjamin adanya kepastian Hukum. Meskipun demikian,
Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia hingga saat ini masih beranekaragam dan
masih banyak materi Hukum Perdata yang tidak termuat dalam KUH Per, tetapi
tercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
4.
SISTIMATIKA HUKUM PERDATA
Kitab undang-undang Hukum perdata (BW)
Indonesia terdiri dari 4 buku sebagai berikut :
a. Buku I
, yang berjudul “Perihal Orang” (van Persoonen) memuat hukum perorangan dan
hukum kekeluargaan.
b. Buku II
, yang berjdudul “Perihal Benda” (van Zaken) memuat hukum benda dan hukum
waris.
c.
Buku III, yang berjudul “Perihal Perikatan” (van Verbintennisen), memuat hukum
harta kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban yang berlaku bagi
orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
d. Buku
IV, yang berjudul “Perihal Pembuktian dan Daluarsa” (van Bewijsen Verjajing)
memuat perihal alat pembuktian dan akibat lewat terhadap hubungan hukum.
5.
CONTOH KASUS HUKUM PERDATA
Contoh Kasus hukum Perdata tentang Warisan
(Pembagian Warisan
Bagi Anak diLuar Nikah Diakui)
Contoh kasus :
Arto merupakan pria
yang telah menikah dan memiliki 2 orang anak dari pernikahannya dengan seorang
wanita yang bernama Lulu. Pada suatu hari, ada seorang laki-laki bernama Beto
datang menemui Arto, dan mengaku sebagai anak Arto. Mengingat bahwa masa muda
Arto yang terbilang cukup kelam, yaitu terlibat pada dunia seks bebas dan
penyalahgunaan obat-obat terlarang, maka Arto mengakui Beto sebagai anaknya
yang dilahirkan Urti, mantan pacar Arto sebelum Arto menikah. Beberapa bulan
kemudian Arto meninggal dalam sebuah kecelakaan, meninggalkan seorang istri dan
seorang anak kandung serta Beto sebagai anak luar nikah diakui.
Pertanyaan:
1) Bagaimanakah hak waris Beto atas harta
peninggalan Arto?
2) Berapa bagian kah harta yang didapatkan
Beto dari harta warisan Arto?
Penyelesaiannya:
Menurut Pasal 272 KUH
Perdata anak luar kawin adalah:
“Anak luar kawin yang
dapat diakui adalah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu, tetapi tidak dibenihkan
oleh seorang pria yang berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan ibu anak
tersebut, dan tidak termasuk dalam kelompok anak zina atau anak sumbang”.
Apabila kita
menyimpulkan maksud yang terkandung dalam isi pasal tersebut, bahwa Pasal 272
KUH Perdata menegaskan syarat seseorang dinyatakan sebagai anak luar nikah
yaitu anak-anak yang lahir di luar dari ikatan perkawinan. Dalam artian anak luar nikah adalah anak-anak
yang lahir akibat zina.
Anak luar nikah dapat mewaris
sepanjang anak tersebut memiliki hubungan hukum dengan pewaris. Hubungan hukum yang dimaksud dalam hal ini
adalah pengakuan dari si pewaris, sehingga dengan demikian anak luar nikah
tersebut akan disebut dengan anak luar nikah diakui. Sebab anak luar nikah yang mendapat warisan hanya anak luar
nikah yang diakui oleh ayahnya.
Amanat yang tercantum dalam Pasal 284 KUH
Perdata disebutkan, bahwa:
“Pengakuan yang
dilakukan sepanjang perkawinan oleh suami atau istri atas kebahagiaan anak luar
nikah, yang sebelum kawin telah olehnya dibuahkan dengan orang lain dari istri
atau suaminya, tak akan merugikan baik bagi istri atau suami maupun bagi anak yang
dilahirkan dari perkawinan mereka”.
Jadi berdasarkan Pasal
284 tersebut kembali ditekankan bahwa seorang suami atau istri yang mengakui
anak luar nikahnya tidak boleh merugikan istri dan anak-anak dari perkawinan
pada waktu pengakuan dilakukan. Namun perlu juga diingat bahwa berdasarkan
Pasal 285 KUH Perdata, walaupun anak luar nikah telah diakui dan berhak atas
warisan dari orang tua yang mengakuinya, tetapi ayah atau ibu si anak luar
nikah tidak mewarisi harta dari orang yang mengakui.
Melihat contoh kasus di atas, bahwa
Beto menjadi ahli waris yang sah atas warisan dari Arto. Sebab posisi Beto yang
awalnya adalah anak luar nikah, setelah mendapatkan pengakuan dari Arto, maka
secara sah Beto memiliki hubungan hukum dengan Arto.
Dalam pembagian warisan, anak luar
nikah yang diakui mewaris dengan semua golongan ahli waris. Besar bagian yang
diterima tergantung dengan golongan mana anak luar nikah tersebut mewaris, atau
tergantung dari derajat hubungan kekeluargaan dari para ahli waris yang sah.
Kedudukan Beto dalam pewarisan berada pada golongan pertama, yaitu Beto sebagai
anak luar kawin diakui dari Arto sebagai pewaris.
Menurut Pasal 863 KUH Perdata:
“Bila pewaris meninggal
dengan meninggalkan keturunan yangsah dan atau suami istri, maka anak luar
kawin yang diakui mewarisi 1/3 bagian, dari mereka yang sedianya harus
mendapat, seandainya mereka adalah anak sah”
Jika dirumuskan dari kasus di atas,
apabila Parto meninggalkan harta sebesar Rp. 150.000.000,-. Arto memiliki 3
orang ahli waris, yaitu istri, anak kandung dan Beto sebagai anak luar kawin
diakui. Seandainya Beto adalah anak kandung, maka Bejo akan mewarisi 1/3 dari
harta peninggalan Parto, yaitu:
1/3 x 150000000 =
50.000.000
Sebab ketiga orang ahli
waris Arto mendapatkan bagian yang sama, yaitu harta keseluruhan dibagi oleh
ketiga orang ahli waris. Maka masing-masing mendapatkan bagian 50.000.000.
Namun karena kedudukan
Beto adalah anak luar nikah diakui, maka Beto hanya mendapatkan bagian 1/3 dari
bagian yang seharusnya dia dapatkan apabila dia berstatus anak kandung, yaitu:
1/3 x 50000000 =
16666666,67
Jadi, bagian yang didapat oleh Bejo
adalah sebesar Rp. 16.666.666,67. Sementara itu bagian yang didapatkan oleh
istri dan anak sah dari Arto yaitu sisa dari keseluruhan harta setelah
dikurangi bagian dari warisan yang didapatkan oleh Beto.
B.
HUKUM PERIKATAN
1.
PENGERTIAN PERIKATAN
Perikatan adalah suatu perhubungan hukum
antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak
menuntut suatu hal dari pihak yang lain, yang berkewajiban memenuhi tuntutan
itu.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata,
terdapat dua sumber perikatan, yaitu yang berasal dari perjanjian, dan yang
berasal dari undang-undang. Perikatan yang timbul dari perjanjian diatur dalam
pasal 1313 KUH Perdata sampai dengan pasal 1351 KUH Perdata. Perikatan yang
timbul dari undang-undang diatur dalam pasal 1352 KUH Perdata sampai dengan
pasal 1380 KUH Perdata.
2.
DASAR HUKUM PERIKATAN
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata
terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan ( perjanjian )
2. Perikatan yang timbul dari undang-undang
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming )
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan ( perjanjian )
2. Perikatan yang timbul dari undang-undang
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming )
Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :
1. Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
2. Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3. Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
1. Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
2. Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3. Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
3.
ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERIKATAN
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam
Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas
konsensualisme.
1. Asas
Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338
KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat
adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.
2. Asas
konsensualisme Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada
saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan
tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim
disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata
3. Asas
Kepribadian : 1315 dan 1340 KUHPerdata
Pengecualian :
a.
1792 KUHPerdata
b. 1317
KUHPerdata
c.
Perluasannya yaitu Ps. 1318 KUHPerdata.
4. Asas
Pacta Suntservanda® asas kepastian hukum: 1338: 1 KUHPerdata
4.
HAPUSNYA PERIKATAN
Undang-undang menyebutkan sepuluh macam cara
hapusnya perikatan yaitu :
a. Karena
pembayaran
b.
Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan barang yang hendak
dibayarkan itu disuatu tempat
c.
Pembaharuan hutang
d.
Kompensasi atau perhitungan hutang timbal balik
e.
Percampuran hutang
f.
Pembebasan hutang
g.
Hapusnya barang dimaksudkan dalam perjanjian
h.
Pembatalan perjanjian
i.
Akibat berlakunya suatu syarat pembatalan
j.
Lewat waktu
Contoh
Kasus hukum Perikatan tentang Jual Beli Tanah Dinilai
Tidak
BerHukum
• Kasus Jayeng BANDUNG
Akta jual beli tanah Jayeng dari ahli waris Tasrip kepada pemilik Hotel
Guma, dinilai cacat hukum. Akta yang disahkan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
itu menyebutkan, tanah seluas 5.440 m2 di Kampung Jayeng beserta bangunan yang
berdiri di atasnya dijual oleh Asya, ahli waris Tasrip, kepada Hendra Soegi,
pemilik Hotel Guma.
Padahal, menurut Guru Besar Fakultas Hukum Unika Soegijapranata, Prof Dr
Agnes Widanti SH CN, sejak puluhan tahun lalu warga hanya menyewa lahan;
sedangkan bangunan rumah yang ada di kampung tersebut didirikan oleh
warga.”Sejak 1995, ahli waris Tasrip
tidak pernah mengambil uang sewa tanah. Sebelumnya, sistem pembayaran
sewa dilakukan secara ambilan, bukan setoran. Karenanya, warga dianggap tidak
membayar,” kata Agnes dalam pertemuan membahas kasus sengketa Jayeng, di Balai
Kota.
Baik dalam kasus perdata maupun pidana, Pengadilan Negeri Semarang
menyatakan warga bersalah. Tak puas dengan amar putusan tersebut, warga
Jayeng mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung. Hingga hari ini belum ada putusan MA atas kasus tersebut.
Diskusi pakar hukum yang
difasilitasi Desk Program 100 Hari itu, menghadirkan sejumlah pakar hukum.
Selain Agnes, hadir pula pakar sosiologi hukum Undip, Prof Dr Satjipto Rahardjo
SH, pakar hukum tata negara Undip, Arief Hidayat SH MH, dan pakar hukum agraria
Unissula, Dr Ali Mansyur SH CN MH. Arief Hidayat menilai, ada fakta yang
disembunyikan oleh notaris PPAT. Jika bangunan benar-benar milik warga, maka
ahli waris Tasripien tidak berhak menjual bangunan itu kepada orang lain.
”Jika benar demikian, notaris PPAT yang mengurus
akta jual-beli itu bisa diajukan ke PTUN. Sebagai pejabat negara, PPAT dapat
digugat ke pengadilan tata usaha negara,” ujarnya.
TakMemutus Sewa
Pakar hukum agraria Unissula, Dr Ali Mansyur SH CN MH mengatakan, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan, jual-beli tidak dapat memutus
sewa-menyewa. Dalam ketentuan hukum perdata, sewa menyewa dapat dilakukan
secara tertulis maupun secara lisan. Warga Jayeng, menurut Ali, hingga kini
masih bersikukuh menyatakan bahwa mereka adalah para penyewa.
Sebaliknya, pemilik Hotel Guma merasa memiliki bukti kepemilikan yang
sah, sehingga merasa berhak melakukan pengosongan lahan. ”Selama belum ada
keputusan hukum yang tetap, upaya damai masih bisa dilakukan. Harus ada
penyelesaian antara pemilik pertama (ahli waris Tasripien-Red), pemilik kedua
(pemilik Hotel Guma), dan warga Jayeng,” usulnya.
Sementara itu Kepala Bagian Hukum Pemkot, Nurjanah SH menuturkan,
terdapat 32 rumah dan satu musala di kampung Jayeng. Saat ini, ada 55 keluarga
atau 181 jiwa yang tinggal di kampung tersebut. Menurutnya, pada 9 Januari lalu
warga membentuk tim tujuh sebagai negosiator tali asih. Saat itu pemilik Hotel
Guma bersedia memberi kompensasi sebesar Rp 300.000/m2, namun warga meminta Rp
2 juta/m2. Pemilik hotel kemudian menawar Rp 1 juta/m2, namun warga menolak.
Wakil Wali Kota, Mafu Ali mengatakan, Pemkot sudah berusaha memediasi
warga dengan pemilik Hotel Guma. Bahkan, beberapa waktu lalu Mafu mengundang Hendra
Soegiarto untuk membicarakan kemungkinan jalan damai. ”Namun rupanya, Hendra
merasa lebih kuat karena pengadilan telah memenangkan kasusnya. Ia tidak
bersedia negosiasi karena merasa menang,” kata dia.
Pada kesempatan itu, Mafu memperihatinkan aksi pembakaran boneka wali
kota yang dilakukan warga Jayeng pada unjuk rasa beberapa waktu lalu. Menurut
dia, Pemkot sudah melakukan berbagai upaya untuk membuat kasus Jayeng
terselesaikan dengan baik. ”Kami sudah berbuat demikian, kok masih ada saja
yang membakar boneka Pak Wali. Saya kan jadi perihatin,” ujarnya.
SUMBER :
http://agubarat.wordpress.com/2012/06/22/pembagian-warisan/
http://www.scribd.com/doc/20976269/Definisi-Hukum-Perikatan
https://muhammadaiz.wordpress.com/materi-hukum-perdata/