Jumat, 13 April 2018

HUKUM PERDATA DAN HUKUM PERIKATAN


HUKUM PERDATA DAN HUKUM PERIKATAN
ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI
TUGAS SOFTSKILL







Di Susun Oleh :
Rinaldi Septiantoro (26215012)
UNIVERSITAS GUNADARMA
2018








 HUKUM PERDATA

1.       HUKUM PERDATA YANG BERLAKU DI INDONESIA
Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia yaitu yang berdasarkan pasal 163 IS yang dibagi menjadi tiga golongan : Golongan Eropa, Golongan Pribumi dan Golongan Timur Asing.
2.       SEJARAH SINGKAT HUKUM PERDATA
Sejarah membuktikan bahwa hukum perdata yang saat ini berlaku di Indonesia, tidak lepas dari sejarah hukum perdata Eropa. Bermula dari benua Eropa,  terutama di Eropa Kontinental berlaku hukum perdata Romawi, disamping adanya hukum tertulis dan hukum kebiasaan setempat. Diterimanya hukum perdata Romawi pada waktu itu sebagai hukum asli dari negara-negara di Eropa, olah karena keadaan hukum di Eropa kacau balau, dimana tiap-tiap daerah selain mempunyai peraturan-peraturan sendiri, juga peraturan setiap daerah itu berbeda-beda.
Oleh karena adanya perbedaan ini jelas bahwa tidak ada suatu kepastian hukum. Akibat ketidakpuasaan, sehingga orang mencari jalan kearah adanya kepastian hukum, kesatuan hukum, dan keseragaman hukum.
Pada tahun 1804 atas prakarsa Napoleon Bonaparte terhimpun hukum perdata dalam satu kumpulan peraturan yang bernama “Cde Civil de Francais” yang disebut “Code Napoleon”. Karena Code Civil des Francais merupakan bagian sebagian dari Code Napoleon. Sebagai perunjuk penyusunan Code Civil ini dipergunakan karangan dari beberapa ahli hukum antara lain Dumoilin, Domat dan Pothies, disamping itu juga dipergunakan Hukum Bumi Putra Lama, Hukum Jemonia, dan Hukum Cononick. Dan mengenai peraturan-peraturan hukum yang belum ada di jaman Romawi antara lain masalah wesel, asuransi, badan-badan hukum. Akhirnya pada jaman Aufklarung (jaman baru sekitar abad pertengahan) akhirnya dimuat pada kitab undang-undang tersendiri dengan nama “Code d Commerce”.
Sejalan dengan adanya penjajahan oleh bangsa Belanda (1809-1811), maka Raja Lodewijik Napoleon menetapkan : “Wetboek Napoleon Ingeright Voor het Koninkrijik Holland” yang isinya mirip dengan “Code Civil des Francais atau Code Napoleon” untuk dijadikan sumber hukum perdata di Belanda.
Setelah berakhirnya penjajahan dan dinyatakan Nederland disatukan dengan Perancis pada tahun 1811, Code Civil de Francais tetap berlaku di Belanda. Oleh karena perkembangan jaman dan setelah beberapa tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis ini, bangsa Belanda mulai memikirkan dan mengerjakan kodefikasi dari hukum perdatanya. Dan tepatnya 5 juli 1830 kodefikasi ini selesai dengan terbentuknya Burgelijik Wetboek (BW) dan Wetboek van Koophandel (WvK), ini adalah produk nasional Nederland, namun isi data dan bentuknya sebagian besar sama dengan Code Civil des Francais dan Code de Commerce.
Pada tahun 1948, kedua undang-undang produk nasional-Nederland diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas politik hukum. Sampai sekarang kita kenal dengan nama KUH sipil untuk BW , sedangan KUH dangan untuk WvK.

3.       PENGERTIAN DAN KEADAAN HUKUM PERDATA
A.       PENGERTIAN HUKUM PERDATA
Hukum perdata adalah aturan-aturan hukum yang mengatur tingkah laku setiap orang terhadap orang lain yang berkaitan dengan hak dan kewajiban yang timbul dalam pergaulan masyarakat maupun pergaulan keluarga.
Hukum perdata dibagi menjadi dua, yaitu Hukum Perdata Materiil dan Hukum Perdata Formil.
1.       Hukum Perdata Materiil mengatur bagaimana cara seseorang mempertahankan haknya apabila dilanggar oleh orang lain.
2.       Hukum Perdata Formil mempertahankan hukum perdata materiil, karena hukum perdata formil berfungsi menerapkan hukum perdata materiil apabila ada yang melanggarnya.
B.       KEADAAN HUKUM PERDATA
1.       Aneka Pembagian Penduduk Indonesia
Peduduk Indonesia dibagi menjadi tiga golongan dan masing-masing golongan mempunyai hukum perdata sendiri.
a.       Golongan Eropa
Menurut pasal 163 ayat 2 yang termasuk golongan Eropa adalah :
–          Semua warga negara Belanda
–          Bukan warga negara Belanda, melainkan orang yang berasal dari Eropa
–          Semua warga negara Jepang
–          Orang-orang yang berasal dari negara lain yang hukum keluarganya sama dengan hukum keluarga Belanda
–          Keturunan mereka yang tersebut diatas
b.       Golongan Pribumi
Menurut pasal 163 ayat 3 yang termasuk dalam golongan Pribumi adalah :
–          Orang-orang Indonesia asli yang tidak pernah pindah dari golongan lain
–          Mereka yang semula termasuk golongan lain, lalu membaurkan dirinya kedalam golongan Indonesia asli
c.        Golongan Timur Asing
Menurut pasal 163 ayat 4 yang termasuk dalam golongan Timur Asing adalah :
–          Golongan Timur Asing Tionghoa
–          Golongan Timur Asing bukan Tionghoa
Pembagian penduduk kedalam tiga golongan ini, sebenernya sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang. Bahkan dengan dikeluarkannya Instruksi Presidium Kabinet No. 31/U/12/1966, telah diintruksikan kepada Menteri Kehakiman serta Kantor Catatan Sipil seluruh Indonesia untuk tidak menggunakan penggolongan penduduk Indonesia berdasarkan pasal 131 dan 163 Indische Staatsregeling pada Kantor Catatan Sipil di Seluruh Indonesia.
2.       Keanekaragaman Hukum Perdata di Indonesia
Sampai sekarang ini, Hukum Perdata di Indonesia masih beranekaragam. Pada masa dahulu, masing-masing golongan penduduk di Indonesia, mempunyai Hukum Perdata sendiri-sendiri. Ketidakseragaman dalam Hukum Perdata ini disebabkan karena banyaknya macam golongan penduduk di Indonesia yang masing-masing golongan mempunyai kebutuhan Hukum Perdata yang berbeda-beda pula.

3.       Penundukan Diri Secara Sukarela Kepada Hukum Perdata Barat
Menurut pasal 131 ayat 4 , bagi orang Indonesia asli dan orang Timur Asing, sepanjang mereka belum diletakkan dibawah suatu peraturan Bersama dengan bangsa eropa Eropa, diperbolehkan menundukkan diri pada hukum yang berlaku untuk Eropa. Berdasarkan ketentuan ini, maka dibentuklah suatu lembaga penundukan diri yang diatur dalam Staatsblad 1917 No.12 tentang Penundukan Sukarela Kepada Hukum Perdata Eropa, setiap orang yang bukan golongan Eropa dapat menundukan diri secara sukarela kapada Hukum Perdata Barat (Eropa) di Indonesia.

Melalui peraturan ini, maka ada empat jenis penundukan dengan sukarela kepada Hukum Perdata Barat di Indonesia, yaitu :
a.       Penundukan dengan sukarela pada seluruh Hukum Perdata Barat (Pasal 1-17 Stb. 1917/12)
b.       Penundukan dengan sukarela pada sebgaian Hukum Perdata Barat. Yang dimaksudkan disini hanyalah penundukan pada Hukum Harta Kekayaan dan Hukum Waris Testamenter saja, seperti yang telah dinyatakan berlaku bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa dalam Staatsblad 1924 No.556 (Pasal 18-25 Stb. 1917/12)
c.        Penundukan dengan sukarela pada Hukum Perdata barat mengenai suatu perbuatan hukum yang tertentu (Pasal 26-28 Stb. 1917/12)
d.       Dianggap tunduk pada Hukum Perdata Barat karena menjalankan suatu tindakan hukum yang tertentu (Penundukan secara “diam-diam”). Menurut pasal 29 Stb.1917/12, jika seorang bangsa Indonesia asli melakukan sutu perbuatan Hukum yang tidak dikenal didalam hukumnya sendiri, makai a dianggap secara diam-diam menundukan dirinya pada Hukum Eropa.

4.       Kondisi Hukum Perdata di Eropa
seperti kita ketahui, bahwa Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia sekarang ini berasal dari Hukum Perdata Belanda yang disebut Burgerlij Wetboek(BW). Adapun Hukum Perdata Belanda ini berasal dari Hukum Perdata Perancis. Hukum Perdata Perancis ini di Kondifikasi pada 21 Maret 1804 dengan nama Code Civil des Francais. Tahun 1807, di kondifikasi ini di undangkan lagi dengan nama Code Napoleon.

5.       Berlakunya KUH Per di Indonesia
Setelah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 di keluarkan KUH Per pun masih dinyatakan berlaku berdasarkan Pasal 2 aturan peralihan. Kitab undang-undang Hukum Perdata (KUH Per) yang dikodifikasi ini masih berlaku sampai saat ini. Hal ini dimaksudkan adalah untuk mengisi kekosongan Hukum dan untuk menjamin adanya kepastian Hukum. Meskipun demikian, Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia hingga saat ini masih beranekaragam dan masih banyak materi Hukum Perdata yang tidak termuat dalam KUH Per, tetapi tercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

4.       SISTIMATIKA HUKUM PERDATA
Kitab undang-undang Hukum perdata (BW) Indonesia terdiri dari 4 buku sebagai berikut :
a.       Buku I , yang berjudul “Perihal Orang” (van Persoonen) memuat hukum perorangan dan hukum kekeluargaan.
b.       Buku II , yang berjdudul “Perihal Benda” (van Zaken) memuat hukum benda dan hukum waris.
c.        Buku III, yang berjudul “Perihal Perikatan” (van Verbintennisen), memuat hukum harta kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban yang berlaku bagi orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
d.       Buku IV, yang berjudul “Perihal Pembuktian dan Daluarsa” (van Bewijsen Verjajing) memuat perihal alat pembuktian dan akibat lewat terhadap hubungan hukum.

5.       CONTOH KASUS HUKUM PERDATA
Contoh Kasus hukum Perdata tentang Warisan
(Pembagian  Warisan  Bagi Anak diLuar Nikah Diakui)
Contoh kasus :
Arto merupakan pria yang telah menikah dan memiliki 2 orang anak dari pernikahannya dengan seorang wanita yang bernama Lulu. Pada suatu hari, ada seorang laki-laki bernama Beto datang menemui Arto, dan mengaku sebagai anak Arto. Mengingat bahwa masa muda Arto yang terbilang cukup kelam, yaitu terlibat pada dunia seks bebas dan penyalahgunaan obat-obat terlarang, maka Arto mengakui Beto sebagai anaknya yang dilahirkan Urti, mantan pacar Arto sebelum Arto menikah. Beberapa bulan kemudian Arto meninggal dalam sebuah kecelakaan, meninggalkan seorang istri dan seorang anak kandung serta Beto sebagai anak luar nikah diakui.

Pertanyaan:
1)      Bagaimanakah hak waris Beto atas harta peninggalan Arto?
2)      Berapa bagian kah harta yang didapatkan Beto dari harta warisan Arto?

Penyelesaiannya:

Menurut Pasal 272 KUH Perdata anak luar kawin adalah:

“Anak luar kawin yang dapat diakui adalah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu, tetapi tidak dibenihkan oleh seorang pria yang berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan ibu anak tersebut, dan tidak termasuk dalam kelompok anak zina atau anak sumbang”.

Apabila kita menyimpulkan maksud yang terkandung dalam isi pasal tersebut, bahwa Pasal 272 KUH Perdata menegaskan syarat seseorang dinyatakan sebagai anak luar nikah yaitu anak-anak yang lahir di luar dari ikatan perkawinan.  Dalam artian anak luar nikah adalah anak-anak yang lahir akibat zina.
            Anak luar nikah dapat mewaris sepanjang anak tersebut memiliki hubungan hukum dengan pewaris.  Hubungan hukum yang dimaksud dalam hal ini adalah pengakuan dari si pewaris, sehingga dengan demikian anak luar nikah tersebut akan disebut dengan anak luar nikah diakui. Sebab anak luar  nikah yang mendapat warisan hanya anak luar nikah yang diakui oleh ayahnya.

 Amanat yang tercantum dalam Pasal 284 KUH Perdata disebutkan, bahwa:
“Pengakuan yang dilakukan sepanjang perkawinan oleh suami atau istri atas kebahagiaan anak luar nikah, yang sebelum kawin telah olehnya dibuahkan dengan orang lain dari istri atau suaminya, tak akan merugikan baik bagi istri atau suami maupun bagi anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka”.
          
Jadi berdasarkan Pasal 284 tersebut kembali ditekankan bahwa seorang suami atau istri yang mengakui anak luar nikahnya tidak boleh merugikan istri dan anak-anak dari perkawinan pada waktu pengakuan dilakukan. Namun perlu juga diingat bahwa berdasarkan Pasal 285 KUH Perdata, walaupun anak luar nikah telah diakui dan berhak atas warisan dari orang tua yang mengakuinya, tetapi ayah atau ibu si anak luar nikah tidak mewarisi harta dari orang yang mengakui.

            Melihat contoh kasus di atas, bahwa Beto menjadi ahli waris yang sah atas warisan dari Arto. Sebab posisi Beto yang awalnya adalah anak luar nikah, setelah mendapatkan pengakuan dari Arto, maka secara sah Beto memiliki hubungan hukum dengan Arto.

            Dalam pembagian warisan, anak luar nikah yang diakui mewaris dengan semua golongan ahli waris. Besar bagian yang diterima tergantung dengan golongan mana anak luar nikah tersebut mewaris, atau tergantung dari derajat hubungan kekeluargaan dari para ahli waris yang sah. Kedudukan Beto dalam pewarisan berada pada golongan pertama, yaitu Beto sebagai anak luar kawin diakui dari Arto sebagai pewaris.

            Menurut Pasal 863 KUH Perdata:
“Bila pewaris meninggal dengan meninggalkan keturunan yangsah dan atau suami istri, maka anak luar kawin yang diakui mewarisi 1/3 bagian, dari mereka yang sedianya harus mendapat, seandainya mereka adalah anak sah”
            Jika dirumuskan dari kasus di atas, apabila Parto meninggalkan harta sebesar Rp. 150.000.000,-. Arto memiliki 3 orang ahli waris, yaitu istri, anak kandung dan Beto sebagai anak luar kawin diakui. Seandainya Beto adalah anak kandung, maka Bejo akan mewarisi 1/3 dari harta peninggalan Parto, yaitu:
1/3 x 150000000 = 50.000.000

Sebab ketiga orang ahli waris Arto mendapatkan bagian yang sama, yaitu harta keseluruhan dibagi oleh ketiga orang ahli waris. Maka masing-masing mendapatkan bagian 50.000.000.
Namun karena kedudukan Beto adalah anak luar nikah diakui, maka Beto hanya mendapatkan bagian 1/3 dari bagian yang seharusnya dia dapatkan apabila dia berstatus anak kandung, yaitu:
1/3 x 50000000 = 16666666,67

            Jadi, bagian yang didapat oleh Bejo adalah sebesar Rp. 16.666.666,67. Sementara itu bagian yang didapatkan oleh istri dan anak sah dari Arto yaitu sisa dari keseluruhan harta setelah dikurangi bagian dari warisan yang didapatkan oleh Beto.

B.       HUKUM PERIKATAN

1.       PENGERTIAN PERIKATAN
Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain, yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata, terdapat dua sumber perikatan, yaitu yang berasal dari perjanjian, dan yang berasal dari undang-undang. Perikatan yang timbul dari perjanjian diatur dalam pasal 1313 KUH Perdata sampai dengan pasal 1351 KUH Perdata. Perikatan yang timbul dari undang-undang diatur dalam pasal 1352 KUH Perdata sampai dengan pasal 1380 KUH Perdata.

2.       DASAR HUKUM PERIKATAN
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan ( perjanjian )
2. Perikatan yang timbul dari undang-undang
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum    (onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming )

Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :
1. Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
2. Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3. Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.

3.       ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERIKATAN
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
1.       Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
2.       Asas konsensualisme Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata
3.       Asas Kepribadian : 1315 dan 1340 KUHPerdata
Pengecualian :
a.        1792 KUHPerdata
b.       1317 KUHPerdata
c.        Perluasannya yaitu Ps. 1318 KUHPerdata.
4.       Asas Pacta Suntservanda® asas kepastian hukum: 1338: 1 KUHPerdata

4.       HAPUSNYA PERIKATAN
Undang-undang menyebutkan sepuluh macam cara hapusnya perikatan yaitu :
a.       Karena pembayaran
b.       Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan barang yang hendak dibayarkan itu disuatu tempat
c.        Pembaharuan hutang
d.       Kompensasi atau perhitungan hutang timbal balik
e.       Percampuran hutang
f.         Pembebasan hutang
g.       Hapusnya barang dimaksudkan dalam perjanjian
h.       Pembatalan perjanjian
i.         Akibat berlakunya suatu syarat pembatalan
j.         Lewat waktu
Contoh Kasus hukum Perikatan tentang Jual Beli Tanah Dinilai
Tidak BerHukum

• Kasus Jayeng BANDUNG

            Akta jual beli tanah Jayeng dari ahli waris Tasrip kepada pemilik Hotel Guma, dinilai cacat hukum. Akta yang disahkan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) itu menyebutkan, tanah seluas 5.440 m2 di Kampung Jayeng beserta bangunan yang berdiri di atasnya dijual oleh Asya, ahli waris Tasrip, kepada Hendra Soegi, pemilik Hotel Guma.

            Padahal, menurut Guru Besar Fakultas Hukum Unika Soegijapranata, Prof Dr Agnes Widanti SH CN, sejak puluhan tahun lalu warga hanya menyewa lahan; sedangkan bangunan rumah yang ada di kampung tersebut didirikan oleh warga.”Sejak 1995, ahli waris Tasrip  tidak pernah mengambil uang sewa tanah. Sebelumnya, sistem pembayaran sewa dilakukan secara ambilan, bukan setoran. Karenanya, warga dianggap tidak membayar,” kata Agnes dalam pertemuan membahas kasus sengketa Jayeng, di Balai Kota.

            Baik dalam kasus perdata maupun pidana, Pengadilan Negeri Semarang menyatakan warga bersalah. Tak puas dengan amar putusan tersebut, warga Jayeng  mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Hingga hari ini belum ada putusan MA atas kasus tersebut.

            Diskusi pakar hukum yang difasilitasi Desk Program 100 Hari itu, menghadirkan sejumlah pakar hukum. Selain Agnes, hadir pula pakar sosiologi hukum Undip, Prof Dr Satjipto Rahardjo SH, pakar hukum tata negara Undip, Arief Hidayat SH MH, dan pakar hukum agraria Unissula, Dr Ali Mansyur SH CN MH. Arief Hidayat menilai, ada fakta yang disembunyikan oleh notaris PPAT. Jika bangunan benar-benar milik warga, maka ahli waris Tasripien tidak berhak menjual bangunan itu kepada orang lain.

”Jika benar demikian, notaris PPAT yang mengurus akta jual-beli itu bisa diajukan ke PTUN. Sebagai pejabat negara, PPAT dapat digugat ke pengadilan tata usaha negara,” ujarnya.

TakMemutus Sewa

            Pakar hukum agraria Unissula, Dr Ali Mansyur SH CN MH mengatakan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan, jual-beli tidak dapat memutus sewa-menyewa. Dalam ketentuan hukum perdata, sewa menyewa dapat dilakukan secara tertulis maupun secara lisan. Warga Jayeng, menurut Ali, hingga kini masih bersikukuh menyatakan bahwa mereka adalah para penyewa.

            Sebaliknya, pemilik Hotel Guma merasa memiliki bukti kepemilikan yang sah, sehingga merasa berhak melakukan pengosongan lahan. ”Selama belum ada keputusan hukum yang tetap, upaya damai masih bisa dilakukan. Harus ada penyelesaian antara pemilik pertama (ahli waris Tasripien-Red), pemilik kedua (pemilik Hotel Guma), dan warga Jayeng,” usulnya.

            Sementara itu Kepala Bagian Hukum Pemkot, Nurjanah SH menuturkan, terdapat 32 rumah dan satu musala di kampung Jayeng. Saat ini, ada 55 keluarga atau 181 jiwa yang tinggal di kampung tersebut. Menurutnya, pada 9 Januari lalu warga membentuk tim tujuh sebagai negosiator tali asih. Saat itu pemilik Hotel Guma bersedia memberi kompensasi sebesar Rp 300.000/m2, namun warga meminta Rp 2 juta/m2. Pemilik hotel kemudian menawar Rp 1 juta/m2, namun warga menolak.

            Wakil Wali Kota, Mafu Ali mengatakan, Pemkot sudah berusaha memediasi warga dengan pemilik Hotel Guma. Bahkan, beberapa waktu lalu Mafu mengundang Hendra Soegiarto untuk membicarakan kemungkinan jalan damai. ”Namun rupanya, Hendra merasa lebih kuat karena pengadilan telah memenangkan kasusnya. Ia tidak bersedia negosiasi karena merasa menang,” kata dia.

            Pada kesempatan itu, Mafu memperihatinkan aksi pembakaran boneka wali kota yang dilakukan warga Jayeng pada unjuk rasa beberapa waktu lalu. Menurut dia, Pemkot sudah melakukan berbagai upaya untuk membuat kasus Jayeng terselesaikan dengan baik. ”Kami sudah berbuat demikian, kok masih ada saja yang membakar boneka Pak Wali. Saya kan jadi perihatin,” ujarnya.
SUMBER :
http://agubarat.wordpress.com/2012/06/22/pembagian-warisan/
http://www.scribd.com/doc/20976269/Definisi-Hukum-Perikatan
https://muhammadaiz.wordpress.com/materi-hukum-perdata/